Sekolah, Kantor, Kampus, dan Gempa
Oleh: Bunda Guru
Ketika guncangan itu terasa, pikiranku langsung menyatakan bahwa ini adalah gempa. Guncangan satu kali pertama seperti biasa. Berlangsung beberapa saat, kemudian berhenti. Sisa kepanikkan masih terlihat di mana-mana. Wajah bingung, cemas, dan bertanya- tanya terekspresi pada wajah sebagian besar mahasiswa yang sedang ramai di lingkungan kampus pagi ini. Waktu pukul sembilan pagi ini adalah saat berakhirnya jadwal perkuliahan yang pertama, yang dimulai pukul tujuh tiga puluh tadi yang akan segera dilanjutkan dengan jadwal perkuliahan yang kedua sampai pukul sepuluh tigapuluh nanti. Oleh sebab itu, pelataran parkir semakin padat. Dipadati oleh sebagian mahasiswa yang telah selesai mengikuti perkuliahan yang bermaksud akan meninggalkan kampus. Sebagian lagi adalah mahasiswa yang baru saja sampai di kampus yang akan mengikuti perkuliahan pada jadwal kedua atau menyelesaikan urusan administrasi, baik ke program studi atau ke bagian keuangan.
Aku berada diantara mahasiswa itu, tentu dengan perasaan dan pikiran yang hampir sama. Motor baru saja kuparkir, pada jarak sekitar tiga meter dari pintu labor tempatkku ditugaskan. Posisi labor di lantai dasar seperti ini adalah hal yang sangat aku syukuri. Alasannya adalah kemu-dahan untuk menyelamatkan diri jika sekiranya terjadi gempa seperti sekarang ini. Dengan berlari beberapa langkah aku sudah dapat pencapai motorku. Untuk segera meninggalkan kampus tentu lebih mudah aku lakukan. Kunci motor senan-tiasa aku kantongi. Tak sekali pun aku memasukkannya ke dalam ranselku. Demikian juga dengan helm, aku tinggalkan di motor walaupun sudah pernah dicuri, dan sering pula basah kena hujan. Inilah kebiasaan yang muncul pada diriku setelah beberapa kali mengalami musibah gempa.